MAJALAHTEBAR.com. Ulat merupakan hama yang sering menyerang tanaman padi mupun sayuran seperti cabai, tomat, kubis, bawang merah dan tanaman sayuran lainnya. Tidak sedikit petani yang mengaku kesal karena ulat seperti tidak mempan disemprot oleh beberapa jenis pestisida.
Seperti diakui oleh Warmad, petani bawang merah di Kemukten, Kecamatan Kersana, Brebes, Jawa Tengah, ulat grayak (Spodoptera exigua) belakangan makin tidak mudah dikendalikan. “Sudah disemprot berkali-kali masih ada terus. Sudah hampir semua obat (insektisida) dicobain. Sama saja. Bahkan sudah dilebihkan sepuluh kali dosis saja masih tidak mempan,” keluhnya pada TEBAR saat panen bawang merah beberapa waktu lalu.
Serangan hama terasa makin menekan ketika harga sedang berada di bawah Rp 20.000/kg. Beruntung Warmad menanam tumpang sari dengan caisim sehingga bisa membantu menambah penghasilan disamping komoditi utama. Menanam tumpang sari juga menjadi bagian upaya mengalihkan hama agar tidak menyerang tanaman utama. Penanaman yang dilakukan petani dalam satu hamparan juga beragam. Selain bawang merah, pada petak sebelah juga ada yang menanam padi dan cabai atau sayuran lain.
Sementara, Joko Santoso, petani Desa Setren, Kecamatan Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur mengakui hama ulat pada tanaman bawang merah memang tidak mudah dikendalikan. Banyak dari petani di wilayahnya yang panik ketika melihat ulat tidak langsung mati disemprot, sehingga mengulangi aplikasi hingga beberapa kali.
Namun, Joko mengaku tidak ingin mengikuti kebiasaan petani dan memilih langkah selain menyemprot. Pemeliharaan tanaman bawang merah dipersiapkan sejak awal dengan menyehatkan tanah. “Dengan kondisi tanah yang kurang sehat, maka biaya produksi bisa tinggi, dan produksi belum tentu mengikuti,” ungkapnya pada TEBAR beberapa waktu lalu.
Joko meyakini, tanah yang sehat akan menyediakan hara yang banyak ke tanaman sehingga tumbuh sehat. Tanaman kokoh, tidak mudah rusak oleh gangguan hama dan penyakit.
Penggunaan pestisida yang berlebihan, menurut Prof Baehaqi, pakar pengendalian hama, bisa menimbulkan masalah baru seperti membunuh organisme bukan sasaran (parasitoid dan predator), resistensi dan resurgensi hama, serta perubahan fisiologi tanaman. Dampak negatifnya, populasi hama di lapangan justeru meningkat.
Resurgensi terjadi disebabkan oleh perubahan fisiologi tanaman sehingga tanaman lebih diminati oleh hama, atau ada rangsangan insektisida terhadap hama untuk bertelur, makan dan penetas telur. Insektisida dengan kemanjuran rendah (indek efikasi) <25% mendorong resurgensi sangat tinggi. Sebaliknya, jika indek efikasi >75-100% kemanjuran sangat tinggi dan tidak mendorong resurgensi.
Keragaman jenis hama yang dijumpai di areal tanam, lanjutnya, mengikuti sistem tanam yang dilakukan petani. Sistem pertanaman beraneka ragam (polikultur) berpengaruh terhadap keragaman spesies dan populasi hama. Pengaruh tersebut ada yang menguntungkan yaitu dapat mengurangi populasi serangga hama, namun ada yang merugikan karena dapat meningkatkan populasi hama tertentu.
Populasi spesies predator dan parasitoid cenderung lebih tinggi pada pola pertanaman polikultur dibandingkan dengan monokultur. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan nektar (madu), mangsa (bagi predator) dan host (bagi parasitoid) serta habitat mikro pada pertanaman polikultur.
Penyebab lainnya adalah pengelolaan tanaman (crop management) atau teknik budidaya merupakan aktivitas bercocok tanam, mulai dari memilih benih, mengolah tanah, menyiram/mengairi, memupuk, mengendalikan gulma, mengatur jarak tanam, dan memanen. Setiap tahap kegiatan tersebut memungkinkan berkembangnya hama tanaman tertentu setelah berada di areal pertanaman.
Menanam satu varietas terus- menerus sepanjang tahun tanpa penerapan pola tanam sama saja menyediakan makanan bagi hama-hama tanaman. Hama-hama dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik mencapai jumlah populasi yang merusak atau merugikan secara ekonomis.
Pada tanaman semusim, musim tanam di suatu daerah tidak selalu sama, namun selalu berkaitan dengan ketersediaan air. Pada daerah irigasi misalnya, musim tanam tergantung dari tersedianya air pada sumber dan saluran irigasi. Lain hal dengan di daerah yang tidak beririgasi, musim tanam tergantung dari kapan hujan mulai turun atau musim hujan.
Biasanya penanaman yang terlalu cepat atau terlambat, umumnya akan menimbulkan masalah serangan hama tertentu. Namun sebaliknya, keterlambatan penanaman dapat menghindari serangan hama tertentu. Jadi dalam hal fenologi umur tanaman dengan serangan hama perlu dipelajari secara kasus per kasus.
Oleh karena itu Prof Baehaki memberikan solusi pengendalian semua lini harus berpartisipasi mewujudkan pengendalian hama yang baik pada saat hama sudah menyerang dan menjadi wabah. Langkah pencegahan hama dapat dilakukan dengan hindari varietas rentan. Peramalan hama menggunakan lampu perangkap untuk menentukan kapan pengendalian, mulai semai dan tanam.
Hindari penggunaan pupuk berlebihan, hindari insektisida yang telah dinyatakan resurgen, hindari penggunaan pestisida tidak tepat waktu, sasaran dan dosis rendah. Saat ada serangan untuk tanaman padi, pertanaman dikeringkan, lakukan monitoring dan pengendalian dengan insektisida bila populasi mencapai ambang ekonomi dan menggunakan insektisida yang manjur.*