Penemuan baru atau formulasi baru dalam produk perlindungan tanaman masih terbuka. Semua pihak terkait berperan dalam mendukung iklim usaha pestisida di dalam negeri untuk menghasilkan produk yang bersaing di pasaran. Edukasi dalam penggunaan berbagai teknologi pengendalian dan prinsip enam TEPAT jangan pernah henti karena OPT juga tidak kenal “libur”.
MAJALAHTEBAR.com. Siang itu, Warmad tampak sedang memanen bawang merah bersama petani lain. Petani Desa Kemuncen, Kecamatan Kersana, Brebes Jawa Tengah ini tampak semangat karena harga bawang merah merangkak naik jelang Ramadhan dan Idul Fitri 1443 H. Harga di tingkat petani mencapi Rp 15.000/kg.
“Sekarang mending sedikit lebih baik daripada bulan-bulan kemaren. Harga yang super malah Rp 20 ribu/kg. Tapi untuk menghasilkan super harus berpacu dengan ulat. Sudah disemprot macem-macem masih saja ada. Alhamdulillah masih bisa panen,” ujarnya.
Tidak cukup satu, Warmad bersama petani setempat kadang memasukkan 3-5 produk insektisida ke dalam tangki. Saat musim hujan frekuensi nyemprot bisa 3 hari sekali. Dosisnya juga dilebihkan beberapa kali dari aturan dalam kemasan. “Mau gimana lagi, daripada nggak panen. Hamanya seperti sudah gamempan disemprot. Hampir semuanya dah dicoba. Mungkin kalau ada produk baru yang bagus barangkali bisa membantu. Tapi jangan mahal-mahal,” harap petani yang mendapatkan 470 kg bawang merah dari 0,5 ha lahan.
Warmad mengeluhkan belakangan harga pupuk dan pestisida mengalami kenaikan. Biaya produksi per hektar dengan sarana terbatas saja sudah mencapai Rp 30 juta. Ini belum termasuk sewa lahan Rp 6 juta per tahun.
Selain bawang merah, beberapa sentra padi di Jawa Tengah seperti Banyumas juga sudah memasuki panen bulan Maret 2022 lalu. Berbeda dengan MT 2021, panen kali ini dirasakan lebih baik oleh petani daerah ini.
“Panen musim ini (MT I Oktober 2021 – Maret 2022) terasa lebih bagus. Harganya juga lumayan bagus nyampai Rp 4.500/kg. Kalau harga sedang bagus gini, pupuk dan pestisida pada naik seperti tidak dirasa. Sudah jadi kebutuhan pokok tiap musim sih,” ungkap Roy, pemilik Kios Lestari, Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah.
Roy menambahkan, produk pestisida terus bertambah baik dari pemain lama yang mengeluarkan formulasi baru maupun dari perusahaan baru. Dicontohkannya, insektisida untuk mengendalikan wereng batang coklat atau untuk mengendalikan ulat pada tanaman sayuran bahan aktifnya ada beberapa. “Satu bahan aktif saja mereknya bisa sampai lima bahkan lebih. Tapi petani yang akan menyeleksi mana produk yang akan banyak dicari karena hasilnya bagus,” paparnya.
Produk pestisida yang beredar di pasaran melalui kios sarana pertanian jumlahnya mencapai ribuan merek. Potensi pasarnya pun masih terbuka lebar yang merangsang munculnya produk baru maupun pemain baru.
Ir. Slamet Ari Rudiyanto/NSM PT E-tong Chemical Indonesia mengatakan, perusahaannya mulai memasarkan produk-produk pestisidanya ke pasar bebas di wilayah Indonesia, sejak awal Januari 2020 lalu dengan satu produk berbahan aktif abamektin.
Sentra wilayah tanaman padi terbesar di Indonesia di Kabupaten Karawang, Indramayu, Subang. Jawa Barat juda menjadi kiblatnya pasar produk pestisida Nasional terutama Insektisida, Fungisida dan Herbisida pada tanaman padi. Saat ini sudah dipasarkan 11 produk untuk tanaman pangan dan hortikultura. Pemasaran sudah menyebar ke seluruh Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
“Perusahaan kami masih baru tapi kita, sudah memberikan kontribusi buat Petani Indonesia untuk memberikan dan menawarkan produk-produk yangberkualitas secara Efikasi dan harga yang terjangkau dengan keunggulan produk yang lebih buat Petani Indonesia,” ujar Slamet optimistis.
Pemerintah memberikan peluang kepada para palaku usaha pestisida untuk memasarkan produknya di Indonesia. Tentunya dengan mengikuti regulasi yang ada yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida.
Muhammad Hatta, Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian memprediksi pertumbuhan market produk pestisida, dalam 5 tahun terakhir ini masih dapat bertumbuh sekitar 5% per tahun. “Kami pikir pasar pestisida masih cukup besar mengingat masih banyak petani yang belum optimum melakukan pengendalian hama/penyakit/gulma. Jadi masih ada kesempatan bagi produk atau perusahaan baru untuk masuk dalam pasar perlindungan tanaman di Indonesia,” ungkapnya.
Diakui Hatta, di Indonesia, pasar pestisida paling besar adalah insektisida, diikuti fungisida, dan herbisida. Umumnya di negara-negara dengan pertanian yang luas dan lebih maju, pasar herbisida terbesar, diikuti insektisida dan fungisida.
Ketentuan tentang peredaran pestisida baik produk baru maupun produk yang masih berlaku izin edarnya diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida. Regulasi tersebut menutur Hatta sudah mengakomodir semua jenis pestisida alami yang didalamnya terdapat pestisida biologi, pestisida metabolit dan pestisida mineral.
Melalui peraturan tersebut, formulator atau pemegang merek dapat mengajukan pendaftaran pestisida secara online. Secara teknis lebih memudahkan pengusaha karena proses pendaftarannya tidak harus hadir ke kantor Kementan. Namun, sejumlah syarat yang ditentukan tidak mudah dipenuhi oleh pendaftar khususnya yang mengajukan pendaftaran pestisida nabati.
Teddy, pengusaha produk sarana pertanian asal Semarang harus menunda niatnya mendapatkan izin edar lantaran pengajuannya ditolak. Pestisida nabati yang menggunakan bahan tumbuhan diantaranya sereh wangi tidak bisa memenuhi syarat bahan aktif sesuai Permentan No. 43 Tahun 2019.
Persayaratn yang dimuat dalam Pasal 17 peraturan tersebut pemohon harus memenuhi persyaratan administrasi antara lain: sertifikat merek/bukti pendaftaran merek, surat jaminan suplai Bahan Aktif/Bahan Teknis dari pemasok Bahan Aktif/Bahan Teknis dan/atau akses data pendaftaran dari pemasok Bahan Aktif/Bahan Teknis (Letter of Authorization) bagi yang memproduksi sendiri. Bukti penguasaan sarana Produksi (pabrik Bahan Aktif/Bahan Teknis, pabrik.Formulasi, atau pabrik pengemasan) di dalam negeri yang dibuktikan dengan surat izin industri Pestisida.
Sementara, syarat teknis yang harus dipenuhi sebagaimana Pasal 18 yakni sertifikat analisis (Certificate of Analysis/ CoA) dari laboratorium uji mutu terakreditasi. Kromatogram hasil analisis Bahan Teknis dari laboratorium uji mutu terakreditasi kecuali Pestisida alami, feromon, atraktan, ZPI’, dan rodentisida; dan sertifikat komposisi Formulasi (Certificate of Composition/Coe) dari pembuat Formulasi.
Syarat untuk mendapatkan izin tetap dalam pasal 30, pemohon harus mengantungi sertifikat hasil analisa uji mutu, kecuali feromon dan atraktan. Laporan hasil uji toksisitas akut oral dan akut dermal, kecuali untuk Pestisida biologi, ZPT, feromon, dan atraktan. Laporan hasil uji toksisitas lingkungan untuk komoditas padi sawah, kecuali feromon, atraktan, dan rodentisida.
Untuk pengelolaan tanaman, hasil pengujian efikasi terhadap organisme sasaran sesuai ketentuan yang berlaku dan dilaksanakan pada 2 (dua) lokasi sentra komoditi berbeda untuk masing-masing organisme dan komoditi sasaran kecuali ZPT, feromon, atraktan, rodentisida, dan pestisida alami dilaksanakan pada 1 (satu) lokasi sentra komoditi. Poin berikutnya, 1 (satu) unit pengujian efikasi hanya untuk 1 (satu) komoditi dan 1 (satu) organisme sasaran; dan
Secara uji lapangan, menurut Teddy, produknya secara terbatas sudah dicoba oleh petani di lapangan memberikan pengaruh positif ke tanaman. Wereng berhasil terkendali dan produknya ramah lingkungan karena menggunakan bahan alami. Permintaan dari petani di beberapa daerah juga sudah banyak, hanya saja Teddy belum berani memasarkan secara lebih luas karena belum mengantungi nomor pendaftaran dari Kementan.
Mulyadi Benteng, Ketua Aliansi Stewardship Herbisida Terbatas (ALISHTER) mengatakan, pendaftaran pestisida terbuka untuk produk nabati. Hanya masalahnya pendaftarannya sangat sulit karena harus menyampaikan komposisi bahan nabati.
Syarat yang ditentukan dalam Permentan No. 43 Tahun 2019, menurut Mulyadi sangat sulit dipenuhi bagi produk pestisida nabati karena pertama sulit diketahui komposisinya, Kedua, biayanya mahal. Ketiga, walaupun bisa diketahui komposisinya, komposisinya tidak stabil karena bahan alami yang sangat tergantung pada kondisi pertanaman, lingkungan dan musim (hujan atau kering). “Sebenarnya perlu perubahan Permentan untuk mempermudah pendaftaran agar bahan alami banyak yang didaftar karena ramah lingkungan,” saran Mulyadi.
Menanggapi hal tersebut, Hatta menegaskan, selain mengatur tentang semua jenis pestisida, Permentan No. 43 Tahun 2019 juga memberi kemudahan kepada pendaftar. “Kami sudah memberi kemudahan dalam proses pendaftaran pestisida alami diantaranya untuk uji efikasi dilakukan hanya 1 unit, sedangkan pestisida sintetik 2 unit,” tandasnya.
Menurut Prof Dadang, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, peraturan yang ada tidak mengenal pemain lama atau pemain baru juga produk lama atau produk baru. Poin terpentingnya adalah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
“Persyaratan mutu termasuk kandungan bahan aktif menjadi penting karena produk tersebut akan digunakan oleh masyarakat. Khusus untuk pestisida nabati memang masih menjadi pembahasan terkait dengan permasalahan bahan aktif walaupun beberapa pendaftar dapat memenuhi bahan aktif yang terdapat dalam formulasi pestisida nabati yang didaftarkan,” jelas Dadang yang juga Ketua Tim Teknis Komisi Pestisida.
Meski demikian, peraturan tentang pendaftaran pestisida menurut Hatta, justeru menjadi upaya Kementan mendukung industri pestisida adalah memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi pelaku usaha dalam melakukan kegiatan produksi, pengadaan, penyimpanan dan peredaran pestisida. Salah satunya dalam proses perizinan pestisida, sejak tahun 2014 telah dilakukan secara online sehingga menjadi lebih praktis, termonitor dan keluarnya SK Mentan bisa tepat waktu.
Selain itu, kata Dadang, kedepan diharapkan masyarakat akan semakin cerdas dalam penggunaan pestisida seperti tidak berlebihan, tidak salah cara aplikasi, tidak terlalu tergantung pada pestisida sintetik, dan juga adanya peningkatan pemahaman dalam penggunaan pestisida seperti menggunakan pestisida yang lebih ramah lingkungan. Ini tentu saja harus didukung dengan regulasi yang tepat seperti semakin banyak beredar pestisida yang ramah lingkungan seperti pestisida hayati, pestisida nabati, feromon dan pestisida golongan III dan IV berdasarkan klasifikasi WHO. Tentunya ini akan berimbas pada bisnis pestisida yang mana industri harus mengikuti kecenderungan yang terjadi di masyarakat.
Kementan bersama elemen terkait juga telah melakukan Gerakan pengendalian (Gerdal) OPT yang dilaksanakan secara ramah lingkungan. Kegiatan ini dilakukan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dengan menggunakan Agensia Pengendali Hayati (APH).
“Kami memberikan edukasi kepada petani salah satunya melalui penyuluh pertanian untuk menggunakan produk secara bergantian supaya masa resistensi pestisida tersebut tidak cepat habis. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan peran serta semua pihak termasuk didalamnya industri pestisida bahu membahu dengan pemerintah supaya tercapai tujuan kita bersama,” harap Hatta.