Selama tanaman mendapatkan hara sesuai kebutuhan, akan merespon dengan pertumbuhan lebih baik dan produksi meningkat. Walaupun harganya sedikit lebih mahal, penggunaan pupuk nonsubsidi umumnya lebih hemat dan hasil lebih maksimal.
MAJALAHTEBAR.com. Sejak pandemi, sektor pertanian mampu diandalkan menjadi penopang ketahanan pangan negeri. Petani tanpa kenal lelah terus berjuang menghasilkan panen lebih baik dari musim ke musim. Mampu menyiasati berbagai gangguan dan tekanan baik karena dampak perubahan iklim, gangguan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) hingga tekanan harga sarana produksi yang terus melambung.
Sejak awal tahun 2021 lalu sudah harus menerima dampak perubahan penyesuaian harga pupuk subsidi alias harga pupuk subsidi naik seiring dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Pertanian RI No. 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun 2021. HET pupuk bersubsidi dalam peraturan tersebut ditetapkan untuk Urea Rp 2.250/kg naik dari sebelumnya Rp1.800 per kg. SP-36 harganya Rp 2.400/kg, ZA Rp 1.700/kg, NPK Rp 2.300, NPK formula khusus Rp 3.300/kg, pupuk organik granul Rp 800/kg dan pupuk organik cair Rp 20.000/liter.
IMPOR BERAS
Belum genap satu kwartal menerima tekanan penyesuaian harga pupuk subsidi, petani sudah diterpa gonjang-ganjing impor beras yang langsung mendesak pasar sehingga harga gabah kering panen di tingkat petani merosot ke angka Rp 3.500/kg yang umumnya di atas Rp 4.300/kg. Selang setahun bergulir Permentan tersebut disusul dengan terbitnya Surat Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian No.B.133.1/SR.320/B.5.2/03/2022 tertanggal 14 Maret 2022 yang diberlakukan mulai Juli 2022 dimana pupuk subsidi tinggal Urea dan NPK. Dengan kata lain, petani yang sebelumnya menebus pupuk ZA, SP-36, Organik Granula dengan harga non subsidi, mulai Juli 2022 harus membelinya sesuai harga pasar atau dengan harga non subsidi.
Perubahan ketentuan tentang pupuk subsidi tersebut dipengaruhi oleh harga bahan baku yang sebagian masih diimpor. Phospat dan kalium merupakan bahan tambang yang tidak ada di dalam negeri. Kondisi global yang membuat harga bahan baku phospat dan kalium terdongkrak, berimbas pada naiknya harga pupuk non subsidi.
Sementara, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menetapkan target produksi padi tahun ini sebesar 55,20 juta ton atau sedikit lebih tinggi dari capaian tahun 2021 lalu sebesar 54,65 juta ton. Bahkan, target produksi untuk tahun 2023 dinaikkan menjadi 56,08 juta ton. Padi merupakan bagian dari 11 komoditas utama pangan yang target produksinya sudah dipatok naik dan akan dicapai melalui program perkuatan produksi pangan oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
SELALU MENEMUKAN CARA
Walaupun diterpa berbagai tekanan naiknya harga sarana produksi, petani mampu menyesuaikan diri. “Entah bagaimana, petani selalu menemukan cara untuk menyiasati naiknya harga pupuk. Termasuk misalnya sampai tidak ada pupuk subsidi sekalipun. Mau tidak mau pupuk tetap harus digunakan karena tanaman harus mendapatkan nutrisi untuk tumbuh dan produksi,” ungkap H. Edi, petani Paiton, Probolinggo, Jawa Timur.
Menurut H. Edi, selama masih ada subsidi, pupuk (subsidi) tetap digunakan. Jika dilihat pertumbuhan kurang optimal, maka ditambahkan pupuk lain yang disesuaikan dengan biaya produksi. Bukan tidak mungkin, dengan pupuk non subsidi kandungan haranya lebih lengkap sehingga pemakaiannya lebih sedikit alias lebih hemat.
Edi mengembangkan beberapa komoditi seperti padi, jagung, bawang merah dan tembakau. “Kalau untuk padi atau jagung biasanya pakai pupuk subsidi. Sedangkan tembakau dan bawang merah lebih sering pakai non subsidi supaya hasilnya bagus,” terangnya.
Perubahan alokasi pupuk subsidi dikeluhkan oleh Triwaluyo, petani Desa Mentasan, Kecamatan Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah. Sebagian besar petani masih menggunakan pupuk subsidi.
PAKAI NON SUBSIDI
Namun, jika alokasi pupuk subsidi berkurang atau dihapus, Triwaluyo mengaku siap. Masih ada alternatif di kios sarana pertanian pupuk non subsidi. “Memang harganya lebih mahal, tetapi (kandungan haranya) lebih lengkap. Hasilnya lebih bagus, panen meningkat, sehingga kalau dihitung-hitung untungnya lebih banyak dibandingkan hanya menggunakan pupuk subsidi,” ujarnya saat panen di lahan demplot miliknya beberapa waktu lalu.
Triwaluyo mencontohkan, hasil demoplot yang dilakukan di lahannya menggunakan pupuk Urea dan NPK 16-16-16 non subsidi serta pupuk hayati. Dosis yang digunakan 200 kg/ha, 300 kg/ha dan 20 kg/ha.
“Setelah dihitung, timbangannya (panen) mencapai 13,17 ton/ha pipilan kering (kadar air 17%). Ini jauh lebih hemat dibandingkan hanya menggunakan pupuk subsidi,” tegasnya.
Penghematannya cukup besar. Triwaluyo merinci, kebiasaan petani setempat pemupukan tanaman jagung menggunakan pupuk subsidi Urea 400 ton/ha dan NPK subsidi 800 ton/ha. Hasilnya maksimal 7 ton/ha.
Keuntungan petani juga bertambah banyak. Dengan harga jagung pipilan Rp 4000/kg petani mendapatkan tambahan hasil panen Rp 24 juta/ha. Sementara tambahan biaya belanja pupuk kurang dari Rp 2 juta/ha. Jadi, keuntungan yang petani bertambah lebih dari Rp 20 juta/ha.
Melihat penggunaan pupuk non subsidi lebih hemat dan keuntungan lebih besar, Triwaluyo mengajak petani anggota Kelompok Tani “Wana Dadi” merubah pola pemupukan. Tanaman membutuhkan nutrisi yang bagus untuk mendapatkan hasil yang bagus pula.
NAIKKAN HPP
Upaya meningkatkan pendapatan petani, selain dengan pemupukan berimbang, juga bisa dengan meningkatkan pembelian harga gabah. Dengan menaikkan Harga Pokok Pembelian (HPP) akan meningkatkan nilai jual padi hasil panen petani.
Usulan yang menjadi sorotan berbagai pihak tersebut, kembali mengemuka. Mengutip laman DPRD Jateng, Sumanto, Ketua Komisi B DPRD Jateng meminta supaya pemerintah bisa mencabut anggaran subsidi pupuk dan mengganti dengan pembelian Harga Pokok Penjualan (HPP) gabah kering panen yang tinggi dengan harga Rp 5.500 per kilo.
Sumanto menambahkan, HPP yang berlaku saat ini Rp 4.200 per kilogram, bahkan rata-rata Rp 3.200 – Rp 3.400 per kilogram. Akibatnya, pendapatan petani tidak lebih dari Rp 400 ribu per bulan karena 2,9 juta petani di Jateng rata-rata kepemilikan lahannya 0,65 Ha. Produktivitas 1 hektar sawah menghasikan 6 ton gabah, kemudian terjadi penyusutan 18% maka menjadi 4,92 ton.
NAIKKAN HPP
Yoyo Suparyo, Ketua Komunitas Petani Pantura Jawa Barat sering menyampaikan usulan agar pemerintah menaikkan HPP gabah. Menaikkan HPP gabah akan menambah margin pendapatan petani meski tidak lagi ada subsidi pupuk.
“Sekarang harga pupuk non subsidi juga sudah naik tinggi. Tapi kalau HPP naik jadi Rp 5.500/kg margin (pendapatan) nya akan bertambah. Petani akan semangat untuk meningkatkan produksi,” ungkap Yoyo.
Budidaya tanaman yang sehat dan efisien menurut Yoyo, harus menjadi prioritas petani. Menghemat pupuk bukan merupakan solusi karena akan mengurangi asupan hara tanaman.
Langkah tepat jika menerapkan pemupukan berimbang. Memberikan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman dan menjaga pH ideal saat pra tanam. Menambahkan pupuk organik untuk lahan yang kandungan c organiknya sudah banyak berkurang. Mengatur jadwal tanam untuk memutus perkembangan siklus hama dan penyakit yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Selain itu, menurut Direktur Jenderal PSP Kementan Ali Jamil, petani perlu terus mendapatkan edukasi penggunaan pupuk organik. Petani bisa membuat pupuk organik sendiri, agar mengurangi ketergantungan pada pupuk bersubsidi.
PUPUK ORGANIK
Aplikasi pupuk organik membentuk perakaran tanaman padi kuat, tidak mudah roboh oleh terpaan angin dan padi lebih berisi. Seperti hasil pengembangan pupuk organik pendampingan Universitas Muhammadiyah Metro di Tejosari, Metro.
Menurut Nedi Hendri, Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah (UM) Metro, penggunaan pupuk organik sangat menghemat biaya pembelian pupuk sampai dengan 50 %. “Petani sangat diuntungkan dengan penggunaan pupuk organik hanya saja butuh ketelatenan untuk dapat konsisten,” ungkap peraih Top 16 dari 200 Master Mentor se-Indonesia, Kementerian Koperasi dan UKM ini seperti dimuat laman UMMetro.